CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Selasa, 14 Oktober 2008

Apa Aku Salah?

Perlahan-lahan kuhempaskan nafasku
Melepaskan segumpal perasaan sesak
Yang menghimpit hatiku …….
Terulang lagi semuanya, janjiku kuingkari….
Rasa bersalahku bertambah lagi
Batinku semakin tertekan

Haruskah ini mengisi hari-hariku,
nanti atau yang akan datang ?
Mengapa ku begitu kejam pada diriku sendiri ?
Mengapa aku selalu mencoba sesuatu…
tanpa pernah ada setitik asapun dalam hatiku
untuk tetap mempertahankannya ?

TUHAN……
Mengapa Kau membiarkan ini semua terajadi pada diriku ?
Aku bosan, aku jenuh menjalani hari-hariku…
Aku ingin semua ini berakhir, tanpa harus ada yang
merasa disakiti atau dilukai…. aku ingin semuanya
berakhir tanpa asa yang tersisa ….

Tuhan…….
Kasihani diriku, jangan biarkan aku seperti ini….
Aku ingin menyanyangi, ingin mencintai dengan iklas
dengan tulus, tanpa harus ada keraguan……..

Tangisan

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis.

Suara itu kembali terngiang. Suara tangisan. Tangisan bayi. Bayi sialan itu.

Aku ingat malam itu. Malam yang liar. Setidaknya untukmu. Saat kau menari berahi. Menggoyangkan tubuhmu yang mungil di atas tubuhku. Erang, gelinjang. Getar, kapar.

”Aku ingin bersamamu,” katamu.

”Tidak,” kataku. ”Kau kekasih sahabatku”

Kau menangis. Aku menyuruhmu diam. Lalu kau membalikkan badanmu. Tidak lagi menghadapku. Dan kau diam. Walau aku tahu kau masih menangis, tubuhmu bergetar.

Aku hanya diam. Kau telah diam. Aku benci tangisan.

Aku tidak mengenalmu. Aku hanya mengenal kekasihmu. Yang angkuh, karena ketampanannya. Ketampanan yang membuat banyak perempuan menekukkan lutut. Ketampanan yang mulai ia salah pergunakan ketika perempuan yang ia cintai meninggalkannya karena lelaki lain. Lelaki pilihan ibunya. Ketampanan yang membuat ia percaya dapat menjadikan semua perempuan sebagai boneka. Dan kau salah satunya. Bonekanya.

Aku tak peduli dengan sifatnya. Dia sahabatku. Hingga saat itu. Saat ia menghancurkan kepercayaan yang aku berikan kepadanya. Kepercayaan yang aku berikan sejak lama, kepada semua kawan, semua sahabat. Ia merebut perempuanku. Kekasihku. Yang aku cinta, aku jaga.

”Aku berciuman dengannya,” kata perempuan itu, kekasihku. Mengakui dosanya.

Aku terdiam.

”Hanya sekali, dan aku menyesal, aku mencintaimu,” katanya lagi.

Aku menatapnya. Melihat kesungguhan di matanya saat ia bilang ia mencintaiku. Aku masih terdiam.

”Dia sahabatku, kau kekasihku.” Aku mulai bicara.

”Aku sayang kau, juga dia,” kataku. Aku kembali diam.

Saat itu, perempuan itu bukan lagi kekasihku. Dan kekasihmu, bukan lagi sahabatku.

Perempuan itu menangis. Aku melangkah pergi. Aku benci tangisan.

Aku mengenalmu suatu ketika. Saat perempuan itu, yang dulu kekasihku, melangsungkan pernikahannya. Ia menikah dengan lelaki yang tidak ia cinta. Atau mungkin ia mencintainya, entah. Aku hanya tahu mereka dijodohkan.

Kau datang dengannya, pria itu, yang dulu sahabatku. Kau tampak mesra dengannya. Menggandeng tangannya. Menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Kau mencintainya.

Tapi aku juga lihat kebencian. Di sudut lain matamu. Sinar yang lain, saat kau menatap matanya. Kebencian entah apa. Saat itu, aku tahu, aku bisa membalaskan dendam. Dendam yang dua tahun ini aku pendam.

Aku hampiri kalian. Menjabat tangan kekasihmu. Memeluknya, layaknya seorang sahabat. Ia senang melihatku lagi, setelah sekian lama. Aku dan lelaki itu pun hanyut dalam cerita, tentang ini dan itu.

Dan akhirnya, saat yang aku tunggu tiba. Kesempatan yang aku tunggu sejak tadi. Ia kenalkan aku padamu. Kita bersalaman. Aku menatapmu dalam. Kau menatapku malu. Dan kebencian di matamu semakin terlihat. Semakin jelas aku merasakannya. Dan aku semakin tahu, aku bisa mendapatkanmu. Membalaskan dendam yang kupendam. Pada lelaki itu. Pada kekasihmu, sahabatku. Dendam yang bisa kulampiaskan, dengan menjadikan engkau sebagai tumbal.

Dan sungguh, ia tidak tahu aku mendendam. Ia hanya tahu bahwa aku telah berpisah dengan perempuan itu, yang dulu kekasihku. Tanpa tahu kenapa.

”Aku dan dia tidak cocok,” jawabku suatu saat. Ketika lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, bertanya alasan aku dan perempuan itu, yang kini ada di pelaminan, berpisah.

Aku juga berpisah dengan lelaki itu, kekasihmu. Sahabatku. Juga dengan orang-orang di kehidupanku dahulu. Aku memutuskan untuk berkelana. Tak lama setelah pengakuan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku cairkan semua tabungan yang aku punya, dan mulai menjelajah. Dari satu tempat ke tempat lain. Menemui orang-orang yang belum pernah aku kenal, dan menjadikan mereka awal dari sebuah kehidupan yang benar-benar baru.

”Aku ingin menenangkan diri,” kataku pada lelaki itu, kekasihmu, saat ia tanya alasanku pergi.

Dan setelah dua tahun. Sekarang. Aku memutuskan untuk pulang. Setelah mendengar kabar itu. Kabar pernikahannya. Pernikahan perempuan itu. Perempuan yang dulu kekasihku. Aku masih mencintainya, walau tidak pernah mau memberikan dia pengampunan. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali. Melihat ia pergi. Selamanya..

Di pelaminan, perempuan itu, yang dulu kekasihku, menangis. Ia terisak, menciumi tangan kedua orangtuanya. Dan orangtua lelaki itu, yang kini suaminya. Meminta restu agar bahagia di kehidupan yang akan datang.

Aku muak. Aku pergi. Aku benci tangisan.

Dan kini, kau telah kudapatkan. Kau telah jatuh ke dalam pelukanku. Telah hanyut dalam ciuman dan cumbuku. Seperti yang telah kuperkirakan, mudah bagiku mendapatkanmu.

Aku hanya mendekati engkau, mencoba mengenal kau lebih dalam, mendengarkan cerita dan keluh kesahmu, sembari mencari titik lemahmu. Suatu saat, akhirnya kau membuka diri.

”Aku beberapa kali dihianatinya,” katamu. Menjelaskan kebencian yang pernah aku lihat. Di matamu. Dulu. Di pernikahan itu.

”Beberapa kali aku memergoki dia meniduri perempuan lain,” katamu lagi.

Tapi kau mencintainya. Sungguh mencintainya. Dia lelaki pertama yang menyentuhmu. Merenggut kesucianmu. Dan seperti perempuan lain. Perempuan-perempuan bodoh yang menganggap keperawanan sebuah kemuliaan. Kau menghamba padanya. Seperti manusia yang menghamba Tuhan. Dan lelaki itu, sahabatku, juga mencintaimu. Seperti kau mencintainya. Walau kenyataannya, kau hanya ia jadikan boneka.

Kau menangis. Sedang aku benci tangisan. Tapi ini tangisan yang aku tunggu. Setelah aku menenangkanmu, aku menidurimu. Aku membalaskan dendam.

Setelah malam itu, malam percintaan kita yang terakhir. Malam saat kau katakan kau ingin bersamaku, aku memutuskan hubungan denganmu. Aku katakan padamu untuk melupakanku, dan kembali ke pangkuan lelaki itu. Kekasihmu, bekas sahabatku, yang tak pernah tahu bahwa aku telah menidurimu. Aku sengaja membiarkan kau kembali menghamba. Di malam terakhir kita bercinta, kau katakan padaku. Bahwa kau akan menikah dengannya. Aku menyeringai dalam hati. Beberapa malam sebelum kalian menikah, aku akan memberitahu lelaki itu, kekasihmu, tentang dosa yang kita perbuat di belakangnya.

Aku ingin melihatnya menangis. Seperti tangisanmu, tangisan kekasihku dulu, atau tangisan perempuan-perempuan lain yang ia jadikan boneka. Setelah melihatnya menangis, aku akan pergi, kembali mengembara. Aku benci tangisan.

Tapi nasib tidak memihakku. Satu bulan setelah percintaan itu, kau menghadapku. Dengan tangis.

”Aku hamil,” katamu.

”Ini anakmu, aku tidak pernah bercinta dengannya setelah percintaan kita yang terakhir,” katamu lagi.

Aku terdiam.

”Nikahi aku,” kau kembali berujar.

”Aku akan meninggalkannya,” ujarmu lagi.

Aku masih terdiam.

”Tidak,” kataku berkata, tidak lagi diam.

”Aku tidak mau menikahimu, aku tidak mencintaimu,” tegasku.

”Lahirkan anak itu, aku akan bertanggungjawab terhadap penghidupan dan kehidupannya kelak,” kataku lagi.

”Tapi aku tidak mau menikahimu. Tidak bisa,” kataku.

Aku kembali terdiam (sejenak).

”Atau gugurkan,” aku kembali bicara.

”Hanya itu pilihannya,” kataku, ragu.

Kau terdiam (sejenak). Dan mulai menangis. Aku menyuruhmu diam. Kau terdiam (lagi). Aku benci tangisan. Sungguh aku benci.

Akhirnya engkau memutuskan pilihan. Pilihan kedua yang aku tawarkan, bukan yang pertama. Kau gugurkan anak itu, anakmu, anakku. Kau tidak sanggup melahirkannya tanpa aku nikahi. Kau terlalu takut dengan gunjingan yang akan kau terima. Dan kau, terlalu takut ditinggalkan oleh lelaki itu, kekasihmu, calon suamimu, sahabatku.

Aku yang mengantarkanmu. Mengantar kau ke seorang dukun tua di sebuah entah. Mengantarmu menggugurkan kandunganmu, anakku.

Aku meringis melihat prosesi itu. Melihat dukun tua itu memasukkan benda asing ke kemaluanmu. Melihatmu meringis menahan erang. Melihat kau berdarah-darah. Dan aku, lagi-lagi, hanya terdiam.

Kau tidak menangis. Kau diam. Kau telah mengerti, aku benci tangisan.

Dua bulan setelah kejadian itu. Kau kembali menjalankan kehidupanmu yang biasa. Kembali mesra dengannya. Kembali menggandeng tangannya. Kembali menatap wajahnya dalam. Tertawa. Sesekali kau letakkan kepalamu di dadanya. Tapi kau tak lagi mencintainya. Kau bahagia, kau akan menikah sebentar lagi.

Tapi tiba-tiba kau mendadak gila.

”Aku sering mendengarkan tangisan,” katamu padaku, suatu ketika.

”Bayi itu, bayi kita, menghantuiku,” katamu.

Aku tahu, bayi itu tidak menghantuimu. Penyesalan yang menghantuimu. Penyesalan yang selama ini kau pendam di bawah sadar. Penyesalan yang sengaja kau lupakan.

Kau menangis lagi. Aku terdiam. Aku mulai menangis dalam hati. Tapi sungguh, aku benci tangisan.

Tanah kuburan itu masih basah. Kuburanmu, perempuan yang kujadikan tumbal atas kepercayaanku akan ”ada”. Tumbal atas dendam entah apa. Kau menyerah. Setelah lelaki itu, kekasihmu, yang dulu sahabatku, meninggalkanmu. Ia membatalkan pernikahan karena kegilaanmu. Ia tidak lagi mencintaimu. Ia beralih ke perempuan lain. Boneka lain. Kau tenggak pil penenang. Hingga seberkas sinar menjemputmu. Kau meregang nyawa.

Aku terdiam. Melihat tanahmu yang masih basah. Selintas, aku lihat lelaki itu, yang dulu kekasihmu, yang dulu sahabatku. Melihatnya menangis. Tapi tidak menangisi kekalahan. Seperti yang dulu aku rencanakan. Dan aku, tak jadi menertawai tangisannya. Tangisan yang benar-benar aku tunggu, setelah tangisanmu malam itu. Malam terakhir kita bercumbu. Dia, lelaki itu, menangisi kematianmu. Aku terdiam.

Tangisan itu kini menghantuiku. Tangisanmu, dan tangisan bayi itu, anakku. Aku terkena karma. Karma yang kau dan bayi itu kutukkan kepadaku. Karma yang menjelma tangis. Sungguh, aku benci tangisan.

Aku bisa melihat bulan dengan jelas dari jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Bentuknya bulat. Bulat sempurna. Ini tanggal 17. Sesekali, angin yang sepoi masuk menyejukkan kamar. Pipiku basah. Aku menangis. Tapi suara itu tak lagi terngiang. Suara tangisan itu. Tangisan bayi itu. Bayi sialan itu. Aku meregang nyawa.

Semuanya karena cinta

Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku terasa lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga terdengar dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar gila.

“Mita…! Mita! Tolong gue!” Nuri memanggil namanya dengan suara gemetar. Dan berkali-kali ia masih memanggil Mita. Aku yang mendengar ikut keheranan mendengar Nuri berteriak dengan kerasnya.
Aku dan Mita segera mencari dari arah datangnya suara Nuri yang terdengar ketakutan dan terpojok. Sontak saja kami segera mendatanginya, yang dari tadi berteriak.

“Ada apa, Nur?” tanya Mita, teman sebangkuku, sambil terlihat keheranan. Aku pun demikian, seperti dirinya. Wajah Nuri terlihat sangat pucat, tubuhnya seperti didera kedinginan yang sangat. Yang kami lakukan hanya menatapnya, aneh. Di sampingnya, Willy hanya diam, kaku tanpa berkata apa-apa. Aku dan Mita tentu saja heran dengan kelakuan mereka berdua. Mata Nuri terlihat berkaca-kaca, dan kami hanya dapat menyimpulkan sesuatu.
Mita memegang tangan Nuri secara perlahan, tetapi air matanya tetap saja keluar dengan derasnya. Entah apa yang dilakukan Willy terhadapnya, yang jelas kami mengajak Nuri ke kelas.
“Nuri, ayuk! Jangan di situ!” pintanya pada Nuri. Dan akhirnya kami menuju ke kelas.
“Lo kenapa sih Nur? Gue engga ngerti?” tanya Mita pada Nuri, dan Nuri hanya diam seribu bahasa. Yang kami tahu, Nuri dan Willy adalah sepasang kekasih, dan mereka baru saja meresmikannya. Mita, sebagai mantan anggota Paskibra di sekolah, dengan berani bertanya pada Willy, karena Nuri hanya terdiam kaku. Aku hanya bisa menonton kejadian tersebut.
“Wil, elo apain dia hah? Lo mau bertindak kasar ya?” tanya Mita dengan suara meninggi setelah melihat ketakutan yang dialami Nuri. Willy hanya senyam-senyum tak karuan. Mita mulai marah.
“Gue engga ngapa-ngapain dia kok? Kenapa lo nanya kayak gitu hah? Siapa lo?” kata Willy dengan suara yang lebih tinggi. Aku tidak dapat melakukan sesuatu, karena aku memang tidak bisa.
Mita menatap Willy dengan tajam dan tak henti. Willy dengan santainya duduk di bangku guru karena hari itu semua murid sudah pulang. Aku dan Mita sengaja tidak pulang, karena ada bimbingan belajar di luar sekolah. Willy hanya memainkan kunci motornya, memutar-mutarnya dan melemparnya naik-turun. Mita semakin kesal saja dengan tingkah laku Willy yang tak karuan itu. Nuri tertunduk sambil menatap Willy, iba.

Tingkah Willy semakin menjadi-jadi. Pembicaraannya kini semakin tidak terkendali. Tatapannya menjadi lebih tajam kepada kami, sangat tajam. Aku pun ikut-ikutan kesal terhadapnya.
“Willy, lo kenapa sih, Wil? Lo engga kenapa-napa, kan? Gue takut Wil!” katanya pada Willy sembari memegang tangannya dengan lemas, menangis sejadi-jadinya. Aku dan Mita semakin tidak mengerti apa yang dilakukan Nuri padanya. Memang ada apa dengan Willy?
“Eh, Wil, istighfar lo. Lo tuh kenapa sih! Istighfar!” pinta Mita padanya. Willy melirik Mita dengan tatapan aneh.
“Apa? Istighfar? Apaan tuh, gue engga ngerti maksud lo, orang gue engga kenapa-napa!” suaranya seperti orang yang baru saja minum minuman keras atau bahkan obat-obatan terlarang.
“Astagfirullah, Wil! Astagfirullah!” kata Nuri padanya dan tak henti-hentinya menangis.
“Elo make ya, Wil, ayo ngaku?” tanya Mita menginterogasi Willy, karena ia yakin Willy sedang kecanduan narkoba. Kunci motornya kini semakin dimainkan oleh kedua tangannya.
“Apaan sih lo, gue masih mau maen juga. Ini lagi yang punya badan engga bisa ngurus.”

Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. Apa maksud Willy dengan perkataannya itu.
“Lo tau gak orang yang paling dibenci Willy yang juga gue benci? Tapi sekarang, Willy udah mulai suka sama dia? Tau gak lo? Papa! Waktu gue lagi main, gue digampar sama dia!” Ia tiba-tiba saja berkata seperti itu, kami semakin tidak mengerti. Jangan-jangan…
“Eh, lo kenapa, Wil?” tanya Mita dengan suara lantang dan berani seperti kebiasaannya. Willy menatapnya tajam, tajam sekali. Seperti hendak melakukan sesuatu terhadapnya.
“Eh, lo pergi enggak? Gue sebel ngeliat mata lo! Kalo lo gak pergi, gue bisa bikin lo pergi, tahu!” ungkapnya misterius. Tidak biasanya Willy berkata kasar seperti itu, Willy yang kukukenal sebagai teman yang cukup baik kini berubah misterius dan membuat Mita berkaca-kaca karena perkataannya tadi.
Nuri kemudian membisikkan sesuatu padaku dengan suara yang lebih parau. “Li, dia bukan Willy, dia bukan Willy!” bisiknya padaku. Aku tersentak kaget. Willy bukan Willy? Apa benar seorang pria yang ada di hadapanku bukan dirinya yang asli.
“Eh, Wil! Sadar! Lo kenal gue, kan?” tanya Nuri padanya sambil mengusap air mata yang berjatuhan. Willy hanya diam dan menatapnya lama, lama sekali.
“Lo, elo siapa? Gue enggak kenal lo! Tapi yang jelas elo orang yang paling penting buat Willy!” ungkapnya seperti orang tak sadar.
Beruntung kali itu ada guru olahraga yang belum pulang, sehingga kami meminta tolong kepadanya dengan cepat. Kami takut, Willy sedang kecanduan atau akan segera overdosis. Kami memanggil Pak Adi dengan segera, dan langsung menjelaskan semuanya.
Namun, tiba-tiba saja Willy mengamuk tak karuan. Bola matanya seperti hendak keluar dari tempatnya, kata-kata tidak jelas pun berhamburan dari mulutnya. Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku terasa lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga terdengar dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar gila.
Aku dan Mita yang hari itu seharusnya sudah mengikuti bimbel di luar sekolah, mengurungkan niat untuk menyegerakan ke sana, karena kami tidak tega melihatnya seperti itu. Belum lagi Nuri yang terlihat sangat terpukul atas apa yang terjadi pada Willy. Nuri hanya bisa menangis dan menangis saja.
Ternyata baru kuketahui bahwa Willy kesurupan, bahkan menurutku sangat parah. Selama satu jam Willy tidak apat dikendalikan. Kami hanya bisa membacakan doa ataupun ayat-ayat Al-Quran semampu kami. Itu pun tidak dapat mengembalikan Willy kepada keadaan semula. Pak Adi hanya bisa memegang Willy agar tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri, dibantu Adnan, temanku, yang kali itu akan berangkat bimbel, sama sepertiku.
Mulut Adnan komat-kamit tak karuan membaca doa-doa yang ia bisa, dan Pak Adi pun seperti dirinya. Namun, itu tidak dapat meredakan kesurupan yang sering diderita Willy.
“Willy sering kesurupan, dia juga pernah mau bunuh diri pake samurai yang dia punya. Terus waktu pramuka, dia juga kena lagi. Dia bukan Willy, Mit! Dia bukan Willy. Tolong selametin dia!” Nuri tidak henti-hentinya menangis, lututnya tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya sehingga Nuri ambruk seketika.
Aku dan Mita hanya bisa mengangguk mengiyakan dan aku meminta Nuri agar tidak terlalu khawatir hingga membuatnya seperti itu, menangis saja. Syukurlah akhirnya aku melihat Willy kini lebih tenang dan tidak lagi mengamuk seperti tadi. Perlahan-lahan Willy mereda hingga akhirnya ia jatuh pingsan.
Aku dan Mita menyangka Willy sedang overdosis atau sakit, ternyata Willy kesurupan. Aku menarik napas panjang setelah melihat Willy baik-baik saja. Kulihat ia sadar dan terbangun dari pingsannya itu. Matanya meyiratkan bahwa ia sangat lelah setelah kejadian tadi.
Willy merasa badannya sangat dingin dan kepalanya benar-benar pusing. Dahinya terlihat lebam dan ia terus-menerus berkeringat walaupun badannya terasa sangat beku. Ia melihat ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang telah terjadi pada dirinya.
Wajahnya menunjukkan keheranan yang amat sangat, ia melihat banyak orang berkumpul melihatnya dengan iba. Segelas teh hangat disodorkan oleh Adnan kali itu, karena aku dan Mita sibuk mengurusi Nuri yang terlihat shock berat. Willy meneguknya perlahan dan menaruhnya di atas meja.
“Gue, gue kenapa?” tanyanya aneh, tapi kami tidak membuatnya mengetahui apa yang telah terjadi.
“Elo, elo enggak kenapa-napa kok!” jawab Adnan berbohong padanya. Ia ingin Willy tak lagi bertanya.
Kami pun pura-pura sibuk mengurusi hal-hal yang sedari tadi kami telantarkan, dan anehnya Mita tidak seperti biasanya. Ia hanya terdiam, kaku di sudut ruangan kelas. Aku ingin menyapanya, tapi sengaja kubiarkan ia menghabiskan lamunannya itu.
Nuri akhirnya tidak lagi menangis, ia sangat senang Willy kembali seperti biasa dan menjalani hari-harinya lagi. Tidak ada ketakutan pada diri Nuri jika Willy akan kembali kesurupan. Yang ia tahu, ia sangat menyayangi Willy dan ia tidak ingin Willy menderita lagi.
Semenjak kedatangan Nuri dalam hidup Willy, banyak sekali perubahan yang terjadi padanya. Ia tidak lagi suka mengganggu orang lain, sampai sikap cueknya terhadap temannya yang lain mulai sirna.
Mita, tidak seperti biasa, hanya terdiam tak berkata apa-apa. Mulutnya terasa terkunci rapat-rapat. Sebenarnya hatinya sangat gundah atas kejadian yang menimpa Willy. Ia merasa ada yang salah pada diri Willy, dan ia mulai merangkai kejanggalan-kejanggalan yang terjadi waktu itu. Ia harus tahu, dan ia akan tahu semuanya.
“Wil, di hadapan Nuri gue pengen nanya sesuatu sama lo!” pintanya tegas. Willy dan Nuri masih belum mengerti apa yang dikatakan Nuri.
“Gue tau, gue tau semua, Wil. Sebenernya elo ga kesurupan, kan? Kenapa sih elo harus ngelakuin itu segala? Gue engga ngerti sama elo!” suara Mita semakin meninggi dan meninggi. Willy hanya bisa mengernyitkan dahinya, tanda tidak mengerti.
“Maksud elo apa, gue engga ngerti!” tanyanya tak karuan.
“Gue ngerasa aneh ngeliat kejadian itu, semua sudah terencana kan, Wil? Tapi ada satu hal yang elo lupain, elo engga bisa ngebohongin Nuri, sekalipun Nuri gak sadar elo bohongin!” ungkapnya penuh selidik.
“Maksud elo apa?”
“Udah deh, Wil, elo gak usah pura-pura lagi! Waktu di belakang gue nemuin elo sama Nuri elo masih ingat dia, elo bahkan yang ngajak Nuri masuk ke kelas. Dan elo tau gak? Cara lo tu payah, Wil! Payah!” suaranya terdengar menantang, seperti ingin menguak semua yang telah terjadi.
“Dan satu hal lagi… waktu elo sadar, elo langsung nanya keadaan Nuri, baik atau engga. Seharusnya elo engga sadar apa yang terjadi sama elo. Iya, kan?”
Willy tidak berkata apa-apa. Ingin sekali rasanya ia pergi dan menghilang dari tempat itu, tapi hanya memberikan penjelasan yang harus ia lakukan.
“Ternyata, elo hebat. Gue kira gak bakal ada yang tahu, ternyata perhitungan gue salah! Maafin gue… maaf, Nuri!” pintanya pada Nuri. Nuri hanya bisa tertunduk lesu mendengar semua itu.
“Kenapa lo lakuin itu, Wil?” tanyanya menyesal.
“Gue, gue cuma mau jadi orang biasa. Gue engga mau orang nganggep gue perfect karena gue punya segalanya. Dan gue merasa engga pernah dicintai oleh orang lain or kalian, karena yang dicintain itu Papa! Bukan gue!” ungkapnya lirih. Willy merasa selama ini ia dicintai karena harta keluarganya yang melimpah, bukan karena dirinya.
Mita dan Nuri hanya tertunduk lesu mendengar ucapan Willy. Willy melakukan hal bodoh untuk mencari perhatian dan cinta kasih dari orang lain dengan cara berpura-pura kesurupan. Willy, Willy, apakah ini semua karena cinta?

VAGINALIA

Saya sudah sering dihina dan terhina. Jadi sudah biasa kalau kamu mengernyitkan dahi, mempertanyakan, (atau malah) menertawakan nama saya. Sebab nama saya Vaginalia. Asli dari akte lahir, murni pemberian kedua orang tua saya. Silahkan kalau kamu mau tertawa. Toh sudah biasa.
Kamu mengenalkan namamu sebagai Muhammad. Nama yang bagus, dan agung. Sebab namamu itu, juga nama nabi yang paling diagungkan. Yang dijuluki Al-Amin, artinya dapat dipercaya. Diteladani banyak manusia, termasuk saya. Sebab katanya akan mendapat pahala jika saya memuji namanya, mendapat sesuatu yang bernama ‘Syafa’at’ di kehidupan akhirat.

Nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Sebab itulah saya percaya sama kamu.

*****



Saya masih perawan, belum kawin. Orang-orang seringkali merendahkan harga diri saya sebab nama saya Vaginalia. Mendekati saya dengan alasan nafsu saja. Saya benci. Saya jijik. Sebab saya juga perempuan baik-baik. Mendambakan laki-laki yang baik-baik. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang menilai saya dengan harga. Pernah saya ditawar dua juta untuk sebuah malam bersama dengannya. Saya tidak mau. Meski saya miskin, saya punya harga diri. Saya benar-benar tersinggung. Saya tampar dia, dan dia memaki saya. Mengatakan saya hanya jual mahal. Padahal saya benar-benar tak mau dibeli, dengan harga berapapun yang kamu beri.

Nama kamu Muhammad. Saya suka perilakumu terhadap saya. Kamu menemani saya duduk di sebuah kantin. Memesan dua mangkok bakso; satu buat kamu, satu buat saya.

“Saya yang traktir,” katamu sambil tersenyum merekah.

Saya bahagia, kamu mau duduk di samping saya. Mau berbicara dengan saya meski tatapan curiga mengarah ke arah kita berdua. Sebab nama saya Vaginalia. Vagina, nama organnya wanita. Barang yang sudah banyak diobral murah. Itu untuk kelas biasa, limapuluh ribu semalam. Bisa juga sampai ratusan juta. Tergantung jaminan kepuasan yang diberikan. Tapi sekali lagi, saya tidak seperti itu. Saya wanita baik-baik, mendambakan laki-laki baik-baik.

Nama kamu Muhammad. Dan kamu memanggil saya “Va”. Saya tidak menolak. Saya justru senang. Sebab kamu teman pertama saya. Kamu selalu sabar menemani saya meski mereka masih menatap curiga.

Nama kamu Muhammad. Dan segalanya telah berubah menjadi kamu. Saya jatuh cinta sama kamu. Tapi apa saya pantas untuk mencintai dan dicintai? Saya tidak berharap lebih. Saya sudah cukup senang dengan keberadaan kamu sebagai teman saya. Sampai bulan kedua, kamu mendadak muncul di depan pintu kostan saya. Padahal hujan sedang deras. Kamu basah kuyup. Belum sempat saya ambilkan handuk, kamu sudah memegang tangan saya. Dan kamu ungkapkan cinta. Kamu tahu, itu pertama kalinya tangan saya digenggam laki-laki. Tapi saya bahagia. Karena itu kamu. Terlebih kamu mengatakan cinta. Mimpi yang menjadi nyata. Sejak itu kita pacaran.

Satu bulan.

Dua bulan.

Kita masih hanya berpegangan tangan. Sebab saya tak mau macam-macam. Belum waktunya. Sebab saya tahu bahwa zinah adalah dosa besar. Sama saja dengan menyekutukan Tuhan. Toh saya cukup bahagia dengan berpegangan tangan.

*****



Saya cantik, katamu.

Malam itu saya membiarkan kamu mencium bibir saya. Saya hanya mampu memejamkan mata. Sementara bibirmu terus melumat bibir saya. Saya takut. Benar-benar takut. Sebab saya tahu ini dosa. Tapi kamu terlalu mempesona, membuat saya tidak berdaya. Sebab sebelumnya kamu memasangkan cincin di jari saya, kembali mengatakan cinta, dan berjanji akan menikahi saya.

Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika tanganmu mulai menelusup di balik kemeja saya. Mengelus tubuh saya. Saya ingin katakan jangan, tapi bibir saya kamu bungkam begitu nakalnya. Saya mulai menangis, tapi kamu dengan hebatnya kembali mengatakan cinta, menenangkan hati saya.

Tiba-tiba hari telah pagi. Menyaksikan kamu tanpa busana, begitu pula saya. Ada bercak darah di sana. Saya menangis. Sebab saya tahu, saya tidak lagi perawan. Tapi lagi-lagi kamu memeluk saya, mengecup kening saya, berjanji menikahi saya. Saya percaya. Sebab nama kamu Muhammad.

*****



Berkali-kali setelah itu kamu melakukan hal yang sama. Saya ingin menolak. Benar-benar ingin menolak. Tapi kamu begitu pintar untuk memancing hasrat saya keluar, tanpa malu, tanpa bisa lagi memikirkan bahwa kita adalah pendosa yang tidak akan diterima ibadahnya. Dan neraka balasannya. Sebab namu kamu Muhammad, saya percaya kamu akan menikahi saya.

*****



Bulan keenam kamu mengatakan perpisahan. Tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kamu benar-benar pergi meninggalkan saya, seperti angin. Tak tertinggal suatu apapun kecuali membawa debu melekat pada tubuh saya. Padahal kita sudah pernah bercinta dengan dosa, berkali-kali. Tapi kamu tetap tak menggubris itu semua. Akhirnya kamu mengatakan bosan kepada saya. Dan saya hanya bisa tertawa. Tertawa akan kebodohan saya mempercayai kamu selama ini.

Padahal nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Tapi mungkin setan-setan yang kegirangan memujimu. Sedangkan saya lebih memilih menghujatmu, melaknatmu. Tapi saya akhirnya sadar, sia-sia saya melakukan itu.

*****



Kamu tahu dimana saya berada saat ini?
Penjara!

Saya membunuhi Muhammad, satu per satu. Di jalan, di keramaian, atau di tempat remang-remang yang menjajakan kebahagiaan. Saya mencari Muhammad. Muhammad mana saja yang matanya belingsatan melihat kecantikan saya.
Dan lagi-lagi saya menyebut Muhammad, merindukan Muhammad yang pernah saya puji. Sebab ia orang yang terpuji. Yang pernah begitu saya teladani. Tidakkah kamu mengerti?

Hampir Sebuah Kisah Cinta

Perlahan mata kaki perempuan itu menyelinap keluar dari lembar selimut. Permukaan kulitnya yang kuning langsat seolah memantulkan cahaya lampu kamar. Sedemikian kontras warna kaki itu dengan selembar selimut coklat yang menyelimutinya. Halus serupa kulit bayi, ditambah warna eksotik biru muda pada kuku-kuku jarinya.

Mungkin dia tak akan pernah berada di sini, jika aku tak menemukannya di lantai dansa. Atau mungkin juga, semestinya dia tak berada di sini seperti halnya ia tak seharusnya berada di lantai dansa tadi malam. Ruang yang penuh kehampaan di tengah hiruk pikuk orang berbincang dan hingar musik yang menyumpal telinga.

Aku masih iangat saat mendapati tubuhnya serupa pualam memucat, berbalut sebuah tank top warna putih dan celana jeans pendek sedemikian ketat. Kaki jenjangnya terlekat sebuah sepatu kulit yang tingginya hampir sampai lutut. Perempuan itu tergeletak dengan rambut panjangnya menutupi hampir separuh wajah. Harusnya dia tak berada di situ, terkapar di sudut lantai dansa seperti seekor kucing tanpa seorang pun peduli. Perempuan itu terlalu jelita untuk terkapar tak berdaya. Dan belakangan, aku mengenalnya sebagai Fara, seorang perempuan yang bisa dibeli dengan lima ratus ribu untuk menemani malam.

Kupikir perempuan seperti dia tak selayanya berada di dunia sekeras ini. Lihatlah bagaimana matanya terpejam seperti kanak-kanak yang lelah bermain. Perempuan ini serupa malaikat yang kehilangan sayap. Aku memandangi pundaknya yang telanjang seperti pegunungan salju menantang para petualang untuk berseluncur. Aku menduga-duga adakah sayap di punggungnya yang halus itu? Barangkali tak pernah aku temukan sayap itu di punggungnya. Tapi aku menemukan simbol lain di bawah pusarnya yang tak kalah menggoda imajinasiku untuk menelusuri. Aku memerhatikan lekuk tubuh itu, lalu membenarkan letak selimut dan merapatkan pada pundaknya. Sesaat kulihat seberkas cahaya dari jendela memantul di wajahnya yang jelita.

*****

Kami berpandangan. Mata kami saling mengabarkan kesunyian masing-masing. Dia duduk di kursi sebelah meja, dan aku duduk di ranjang empuk menyandarkan punggung pada dinding kamar hotel. Jika aku tak salah menghitung, ini adalah kali yang ketigapuluh dia mengecaniku. Dan masih seperti sebelumnya, dia tidak melakukan apa-apa.

Kupikir dia cukup jantan. Tubuhnya berotot dan atletis seperti menjanjikan kehebatan dalam bercinta. Matanya senantiasa bersinar setiap kali memandangiku. Tapi, aku tak mengerti bagaimana sepasang mata yang menatap tajam itu serngkal berangsur meredup setiap kali aku membalas tatapannya. Dia hanya menyunggingkan senyum pada rahang wajahnya yang tegas. Dan menurutku, barangkali senyum itu adalah sebuah ajakan agar aku segera memulai mencumbunya, dan melakukan pekerjaanku.

Tapi aku salah. Ketika aku beringsut dari ranjang untuk menghampirinya, ia malah merapatkan jari telunjuk ke bibirnya. “Ssst…, tidurlah,” bisiknya dengan tatapan mata lembut, seolah ada pendar mercu suar di sana menerangi temaram malam-malamku. Seorang lelaki yang aneh. Tak seperti tamu atau pelanggan lain, yang selalu saja terburu-buru untuk segera menerkam tubuhku. Tapi, lelaku ini dengan ketenangannya sungguh menumbuhkan belukar pertanyaan dalam benakku.

“Mengapa selalu kau sia-siakan waktumu hanya untuk memandangiku?” ucapku sembari menyentuhkan wajah di permukaan bantal. Kami saling berpandang. Lalu aku menatap lelaki tersebut bangkit dari kursi menuju jendela.

“Apakah kau ingin tahu?”

“Ya. Tentu saja ingin tahu, mengapa kau mau membuang waktumu dengan menyia-nyiakan lima ratus ribu hanya untuk memandangi perempuan yang tak berarti sepertiku?” aku menimpali. Mungkin kalimatku terkesan sinis, karena barangkali aku sudah mulai bosan dengan kebiasaannya.

“Fara,” bibir lelaki tersebut mengeja namaku. “Bukan maksudku mau berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing. Ini kulakukan karena kau jelita, dan hidupmu sia-sia seperti hidupku,” lanjutnya. Aku memandangi tato di lengannya bergambar lidah api saat ia menyalakan sebatang rokok dan memandang ke luar jendela.

“Kupikir hidupmu bertambah sia-sia malam ini, membuang waktumu dan berapa juta rupiah telah kau hamburkan hanya untuk seorang yang kau tak mengenalnya.”

“Apakah kau pikir itu sia-sia?”

“Tentu saja. Lalu apa pula maksudmu selalu membawaku di hotel ini, kamar yang sama di lantai tiga, di mana kau hanya memandangi aku atau jendela dan lampu di luar sana?”

Dia mengalihkan pandangan dari jendela ke wajahku yang tengadah di atas bantal. Ditandaskan rokoknya ke dalam asbak dan perlahan menghampiri ranjang tempatku berbaring.

“Aku sekedar mengingat kenangan di sini, di kamar ini saat kubawa kau pertama kali setelah menemukanmu tergeletak over dosis di diskotik itu, apakah kau masih ingat?” dia berbalik bertanya sembari duduk di tepi ranjang.

Sebuah kilasan kejadian yang tak begitu jelas melintas di benakku. Yang masih kuingat, aku pernah terjaga di kamar ini dengan tubuh lunglai dan melihat dia duduk di kursi itu memandangiku. Tentu saja, aku tak ingat apakah dia meniduriku sebelumnya atau hanya menungguku hingga terjaga. Kalau hanya untuk menjagaku, mungkin hanya lelaki bodoh yang mau menyia-nyiakan waktunya untuk memedulikan hidupku yang sampah. Dan kupikir dialah salah satu lelaki bodoh itu.

Seingatku, selama tiga hari ia merwatku di kamar ini. Menyuapiku ketika tubuhku masih lemah. Membasuh punggungku dengan air hangat dan matanya sesekali memandangi tato di bawah pusarku bergambar sebuah simbol kartu Queen-jantung hati. Sungguh, dia tak melakukan apa-apa selain merawatku. Kami masing-masing pun tak banyak bercakap waktu itu. Lalu kami berpisah. Dan aku kembali ke rumah bordil tempat aku bekerja.

Sejak peristiwa tersebut, dia sesekali meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah bordil dan memesanku. Membawaku pergi hanya untuk menikmati makan malan atau menginap di hotel ini, tanpa aku harus melakukan apa-apa. Seringkali ia hanya duduk di kursi memandangiku tertidur, sambil membuat sketsa tubuhku yang nyaris telanjang pada selembar kertas. Barangkali memang sedikit aneh lelaki satu ini.

Malam telah menggenakan gaunnya berwarna gelap. Ya, mungkin ini ketigapuluh kali ia membawaku menginap di kamar hotel. Aku perlahan mengenali dirinya secara pribadi. Dia pernah berkata, ia menolongku di diskotik itu hanya karena sebuah pertanda. Kupikir itu sebuah pemikiran yang bodoh, bahwa ia menolongku hanya karena melihat sebuah tanda yang kubuat di bawah pusarku. Seingatku, aku memakai tank top putih berbahan rajut kesukaanku. Aku merasa lebih seksi memakai baju itu yang sangat jelas bisa memperlihatkan tato di bawah pusarku. Dan entak dari mana ia mendapat sebuah keyakinan yang aneh untuk dirinya sendiri, ketika dia menatap simbol Queen-jantung hati yang terlukis di bawah pusarku. Barangkali itu adalah semacam pertanda jawaban bagi pencariannya, begitu pengakuannya. Ah, gombal sekali.

Sungguh gombal. Betapa tidak gombal, jika ia meyakini aku adalah pencariannya hanya karena kami mempunyai kesamaan tentang simbol tato jantung hati. Ia memiliki sebuah tato bergambar kartu King-jantung hari di antara ornamen lidah api dan sulur-sulur penuh warna yang melingkari lengannya. Sedangkan aku memiliki sebuah tato bersimbol Queen-jantung hati di bawah pusarku. Dia bilang, King dan Queen adalah pasangan yang menurutnya telah digariskan untuk bersama. Aku tertawa atas pendapatnya yang konyol itu!

Queen-jantung hati. Menurutnya, itu merupakan simbol yang merepresentasikan diriku sebagai ratu-jantung hati bagi sesiapa yang bisa menangkap makna itu dan menobatkanku sebagai ratu di hatinya. Sebuah pemikiran yang ngawur dan gombal nampaknya. Tapi cukup mendekati sebuah kebenaran pemaknaanku akan simbol yang kubuat di bawah pusarku. Dia juga memiliki daya pemaknaan yang cukup mendalam terhadap sesuatu rupanya. Dan karena tato di bawah pusarku itulah ia suka berlama-lama memandangiku. Dia berkata itu adalah sebuah keindahan yang tak kalah eksotis dengan langit senja ketika matahari akan terbenam!

Aku perlahan mengenalnya setelah perbincangan kami selama ini. Berbincang sembari rebah di ranjang memandang langit-langit kamar, ataupun duduk bersebelahan sambil menatap lampu-lampu kota dari jendela. Dia tak pernah melakukan apapun selain memandangiku, maksudnya, tak seperti lelaki hidung belang yang selam ini mengencaniku yan gselalu tergopoh oleh nafsu begitu melihat kemulusan ketiakku.

Berbeda dengan lelaki ini, paling-paling ia sesekali menyentuk lenganku yang halus dengan punggung jarinya, atau membiarkan wajahnya tenggelam dalam keharuman rambutku. Dan satu lagi yang paling dia suka adalah menyentuh kelembutan kulit di sekitar pusarku, seperti kali ini. Perlahan dia menyingkap baju shifon tanpa lengan bermotif bunga yang kukenakan, agar sepenuhnya dapat melihat selingkar pusarku. Belahan dadaku yang sedikit menyembul dari balik baju berleher rendah malah tak begitu menggodanya. Kurasakan tangannya yang kokoh justru menjelajahi simbol Queen-jantung hati tepat di bawah pusar. Aku hanya rebah di atas ranjang menikmati sentuhannya. Ada sebuah sensasi luar biasa yang berdesir di dadaku setiap kali ia melakukan kebiasaan tersebut.

“Bolehkah jika suatu hari kutanamkan benih di rahimmu dan menjadikanmu ibu bagi generasi kita?” ucapnya di tepi ranjang sembari menatap kedua mataku yang menjadi sayu. Nampaknya serius sekali ucapan tadi. Aku hanya tertawa kecil.

“Lelaki mana yang mau menanamkan benih di tubuh seorang pelacur dan menjadikannya ibu bagi generasinya?” sergahku menanggapi kalimatnya.

Sontak, tanpa kuduga dia mengambil lenganku, lalu mendekapku erat dan memandang kedua mataku begitu dalam. Sangat dalam. Sungguh, aku seolah memandang sebuah tata surya baru di kedalaman matanya.

“Malam ini akan menjadi malam terakhir buatmu, Fara,” ucapnya.

“Maksudmu,” aku mengernyitkan dahi.

“Aku telah memutuskan malam ini adalah malam terakhir bagimu.”

“Kau menakutiku? Kau akan membunuhku, atau kau akan meninggalkanku?” aku bertanya seperti aku bertanya pada negara. Setelah ini, apa yang bisa membuat kami hidup lebih baik? Hidup bagiku sudah tak banyak maknanya selain kehampaan-kehampaan yang luar biasa setiap malam. Jikapun lelaki ini ternyata memang seorang pembunuh bayaran seperti yang ia pernah ceritakan, mungkin dengan dibunuh olehnya pun aku tak mempermasalahkan. Karena aku sebenarnya telah mati jika tanpa pertolongannya waktu itu, dan aku sesungguhnya telah berkali-kali mati oleh hidup yang bengis ini.

Tiba-tiba, sebuah perasaan menyelinap, berkubang harap dan cemas menunggu sebuah keputusan dari mulut lelaki bermata elang ini. Aku tak pernah menyadari sebelumnya, bagaimana rasa ini tiba-tiba menelusup. Mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengan keteduhan matanya, sentuhannya yang tulus, dan dekapannya yang mendamaikan.

“Sudah semestinya kita takut ketika berjalan sendirian di tengah bengis peradaban kota yang semakin banyak memproduksi manusia seperti kita, dan menjadikan hidup hanya menunda kekalahan,” jawabnya setelah beberapa saat terdiam.

Aku tak menyangka, jika di balik kegarangan penampilannya tersimpan sebuah penalaran yang beradab. Kadang nurani seseorang memang tak bisa diukur dari penampilan. Aku sendiri juga bertanya dalam hati, mengapa kota tempat aku mengadu nasib ini justru menjadi seperti neraka bagi kami para urban. Kebijakan negara seolah tak pernah memberi solusi bagi mahluk yang termarjinalkan. Ah, tahu apa aku tentang kebijakan negara. Kami dimanjakan sekaligus terjebak oleh caru marut situasi. Dunia yang serba instan dan menghalalkan segala hal agar tetap hidup. Aku tak pernah tahu, entah bagaimana cara negara menyusun peradabannya yang hanya menghasilkan residu manusia-manusia seperti aku dan lelaki ini. Jujur, sebenarnya aku tak paham sepenuhnya kalimat yang ia ucapkan tadi. Tapi aku akan menyimpannya dalam hati

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

“Jadi setelah ini, aku tak akan bisa menemuimu lagi?” tanyaku lirih.

“Aku bilang, ini adalah malam yang terakhir untukmu di kota ini, Sayang,” bisiknya. “Karena aku akan membawamu pergi dari sini dan kita akan menata sebuah dunia baru, sekalipun berawal dari puing kehancuran hidup kita. Maukah kau?”

Aku seolah salah mendengar. Mataku menangkap sinar di matanya. Ada semacam harapan terbit seperti matahari di celah hatiku yang gelap. Wajahnya begitu dekat merapat. Tatapan matanya semakin membuatku tenggelam, hingga sebuah kecupan mendarat di bibiku yang merah. Dan kami pun bergumul mengarungi malam untuk pertama kali.

jam




jam sangat berarti dan sangat penting bagi kita karena dapat menunjukkan waktu pada kita. aku selalu memakai jam dimana pun aku berada, disekolah, dilingkungan, dan dimana pun aku berada selalu memakai jam. jika tidak ada jam, aku jadi kebingungan dengan waktu. bagiku, jam sangatlah penting.

Selasa, 07 Oktober 2008

Uchiha Itachi & Uchiha Sasuke