CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Selasa, 14 Oktober 2008

Semuanya karena cinta

Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku terasa lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga terdengar dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar gila.

“Mita…! Mita! Tolong gue!” Nuri memanggil namanya dengan suara gemetar. Dan berkali-kali ia masih memanggil Mita. Aku yang mendengar ikut keheranan mendengar Nuri berteriak dengan kerasnya.
Aku dan Mita segera mencari dari arah datangnya suara Nuri yang terdengar ketakutan dan terpojok. Sontak saja kami segera mendatanginya, yang dari tadi berteriak.

“Ada apa, Nur?” tanya Mita, teman sebangkuku, sambil terlihat keheranan. Aku pun demikian, seperti dirinya. Wajah Nuri terlihat sangat pucat, tubuhnya seperti didera kedinginan yang sangat. Yang kami lakukan hanya menatapnya, aneh. Di sampingnya, Willy hanya diam, kaku tanpa berkata apa-apa. Aku dan Mita tentu saja heran dengan kelakuan mereka berdua. Mata Nuri terlihat berkaca-kaca, dan kami hanya dapat menyimpulkan sesuatu.
Mita memegang tangan Nuri secara perlahan, tetapi air matanya tetap saja keluar dengan derasnya. Entah apa yang dilakukan Willy terhadapnya, yang jelas kami mengajak Nuri ke kelas.
“Nuri, ayuk! Jangan di situ!” pintanya pada Nuri. Dan akhirnya kami menuju ke kelas.
“Lo kenapa sih Nur? Gue engga ngerti?” tanya Mita pada Nuri, dan Nuri hanya diam seribu bahasa. Yang kami tahu, Nuri dan Willy adalah sepasang kekasih, dan mereka baru saja meresmikannya. Mita, sebagai mantan anggota Paskibra di sekolah, dengan berani bertanya pada Willy, karena Nuri hanya terdiam kaku. Aku hanya bisa menonton kejadian tersebut.
“Wil, elo apain dia hah? Lo mau bertindak kasar ya?” tanya Mita dengan suara meninggi setelah melihat ketakutan yang dialami Nuri. Willy hanya senyam-senyum tak karuan. Mita mulai marah.
“Gue engga ngapa-ngapain dia kok? Kenapa lo nanya kayak gitu hah? Siapa lo?” kata Willy dengan suara yang lebih tinggi. Aku tidak dapat melakukan sesuatu, karena aku memang tidak bisa.
Mita menatap Willy dengan tajam dan tak henti. Willy dengan santainya duduk di bangku guru karena hari itu semua murid sudah pulang. Aku dan Mita sengaja tidak pulang, karena ada bimbingan belajar di luar sekolah. Willy hanya memainkan kunci motornya, memutar-mutarnya dan melemparnya naik-turun. Mita semakin kesal saja dengan tingkah laku Willy yang tak karuan itu. Nuri tertunduk sambil menatap Willy, iba.

Tingkah Willy semakin menjadi-jadi. Pembicaraannya kini semakin tidak terkendali. Tatapannya menjadi lebih tajam kepada kami, sangat tajam. Aku pun ikut-ikutan kesal terhadapnya.
“Willy, lo kenapa sih, Wil? Lo engga kenapa-napa, kan? Gue takut Wil!” katanya pada Willy sembari memegang tangannya dengan lemas, menangis sejadi-jadinya. Aku dan Mita semakin tidak mengerti apa yang dilakukan Nuri padanya. Memang ada apa dengan Willy?
“Eh, Wil, istighfar lo. Lo tuh kenapa sih! Istighfar!” pinta Mita padanya. Willy melirik Mita dengan tatapan aneh.
“Apa? Istighfar? Apaan tuh, gue engga ngerti maksud lo, orang gue engga kenapa-napa!” suaranya seperti orang yang baru saja minum minuman keras atau bahkan obat-obatan terlarang.
“Astagfirullah, Wil! Astagfirullah!” kata Nuri padanya dan tak henti-hentinya menangis.
“Elo make ya, Wil, ayo ngaku?” tanya Mita menginterogasi Willy, karena ia yakin Willy sedang kecanduan narkoba. Kunci motornya kini semakin dimainkan oleh kedua tangannya.
“Apaan sih lo, gue masih mau maen juga. Ini lagi yang punya badan engga bisa ngurus.”

Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. Apa maksud Willy dengan perkataannya itu.
“Lo tau gak orang yang paling dibenci Willy yang juga gue benci? Tapi sekarang, Willy udah mulai suka sama dia? Tau gak lo? Papa! Waktu gue lagi main, gue digampar sama dia!” Ia tiba-tiba saja berkata seperti itu, kami semakin tidak mengerti. Jangan-jangan…
“Eh, lo kenapa, Wil?” tanya Mita dengan suara lantang dan berani seperti kebiasaannya. Willy menatapnya tajam, tajam sekali. Seperti hendak melakukan sesuatu terhadapnya.
“Eh, lo pergi enggak? Gue sebel ngeliat mata lo! Kalo lo gak pergi, gue bisa bikin lo pergi, tahu!” ungkapnya misterius. Tidak biasanya Willy berkata kasar seperti itu, Willy yang kukukenal sebagai teman yang cukup baik kini berubah misterius dan membuat Mita berkaca-kaca karena perkataannya tadi.
Nuri kemudian membisikkan sesuatu padaku dengan suara yang lebih parau. “Li, dia bukan Willy, dia bukan Willy!” bisiknya padaku. Aku tersentak kaget. Willy bukan Willy? Apa benar seorang pria yang ada di hadapanku bukan dirinya yang asli.
“Eh, Wil! Sadar! Lo kenal gue, kan?” tanya Nuri padanya sambil mengusap air mata yang berjatuhan. Willy hanya diam dan menatapnya lama, lama sekali.
“Lo, elo siapa? Gue enggak kenal lo! Tapi yang jelas elo orang yang paling penting buat Willy!” ungkapnya seperti orang tak sadar.
Beruntung kali itu ada guru olahraga yang belum pulang, sehingga kami meminta tolong kepadanya dengan cepat. Kami takut, Willy sedang kecanduan atau akan segera overdosis. Kami memanggil Pak Adi dengan segera, dan langsung menjelaskan semuanya.
Namun, tiba-tiba saja Willy mengamuk tak karuan. Bola matanya seperti hendak keluar dari tempatnya, kata-kata tidak jelas pun berhamburan dari mulutnya. Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku terasa lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga terdengar dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar gila.
Aku dan Mita yang hari itu seharusnya sudah mengikuti bimbel di luar sekolah, mengurungkan niat untuk menyegerakan ke sana, karena kami tidak tega melihatnya seperti itu. Belum lagi Nuri yang terlihat sangat terpukul atas apa yang terjadi pada Willy. Nuri hanya bisa menangis dan menangis saja.
Ternyata baru kuketahui bahwa Willy kesurupan, bahkan menurutku sangat parah. Selama satu jam Willy tidak apat dikendalikan. Kami hanya bisa membacakan doa ataupun ayat-ayat Al-Quran semampu kami. Itu pun tidak dapat mengembalikan Willy kepada keadaan semula. Pak Adi hanya bisa memegang Willy agar tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri, dibantu Adnan, temanku, yang kali itu akan berangkat bimbel, sama sepertiku.
Mulut Adnan komat-kamit tak karuan membaca doa-doa yang ia bisa, dan Pak Adi pun seperti dirinya. Namun, itu tidak dapat meredakan kesurupan yang sering diderita Willy.
“Willy sering kesurupan, dia juga pernah mau bunuh diri pake samurai yang dia punya. Terus waktu pramuka, dia juga kena lagi. Dia bukan Willy, Mit! Dia bukan Willy. Tolong selametin dia!” Nuri tidak henti-hentinya menangis, lututnya tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya sehingga Nuri ambruk seketika.
Aku dan Mita hanya bisa mengangguk mengiyakan dan aku meminta Nuri agar tidak terlalu khawatir hingga membuatnya seperti itu, menangis saja. Syukurlah akhirnya aku melihat Willy kini lebih tenang dan tidak lagi mengamuk seperti tadi. Perlahan-lahan Willy mereda hingga akhirnya ia jatuh pingsan.
Aku dan Mita menyangka Willy sedang overdosis atau sakit, ternyata Willy kesurupan. Aku menarik napas panjang setelah melihat Willy baik-baik saja. Kulihat ia sadar dan terbangun dari pingsannya itu. Matanya meyiratkan bahwa ia sangat lelah setelah kejadian tadi.
Willy merasa badannya sangat dingin dan kepalanya benar-benar pusing. Dahinya terlihat lebam dan ia terus-menerus berkeringat walaupun badannya terasa sangat beku. Ia melihat ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang telah terjadi pada dirinya.
Wajahnya menunjukkan keheranan yang amat sangat, ia melihat banyak orang berkumpul melihatnya dengan iba. Segelas teh hangat disodorkan oleh Adnan kali itu, karena aku dan Mita sibuk mengurusi Nuri yang terlihat shock berat. Willy meneguknya perlahan dan menaruhnya di atas meja.
“Gue, gue kenapa?” tanyanya aneh, tapi kami tidak membuatnya mengetahui apa yang telah terjadi.
“Elo, elo enggak kenapa-napa kok!” jawab Adnan berbohong padanya. Ia ingin Willy tak lagi bertanya.
Kami pun pura-pura sibuk mengurusi hal-hal yang sedari tadi kami telantarkan, dan anehnya Mita tidak seperti biasanya. Ia hanya terdiam, kaku di sudut ruangan kelas. Aku ingin menyapanya, tapi sengaja kubiarkan ia menghabiskan lamunannya itu.
Nuri akhirnya tidak lagi menangis, ia sangat senang Willy kembali seperti biasa dan menjalani hari-harinya lagi. Tidak ada ketakutan pada diri Nuri jika Willy akan kembali kesurupan. Yang ia tahu, ia sangat menyayangi Willy dan ia tidak ingin Willy menderita lagi.
Semenjak kedatangan Nuri dalam hidup Willy, banyak sekali perubahan yang terjadi padanya. Ia tidak lagi suka mengganggu orang lain, sampai sikap cueknya terhadap temannya yang lain mulai sirna.
Mita, tidak seperti biasa, hanya terdiam tak berkata apa-apa. Mulutnya terasa terkunci rapat-rapat. Sebenarnya hatinya sangat gundah atas kejadian yang menimpa Willy. Ia merasa ada yang salah pada diri Willy, dan ia mulai merangkai kejanggalan-kejanggalan yang terjadi waktu itu. Ia harus tahu, dan ia akan tahu semuanya.
“Wil, di hadapan Nuri gue pengen nanya sesuatu sama lo!” pintanya tegas. Willy dan Nuri masih belum mengerti apa yang dikatakan Nuri.
“Gue tau, gue tau semua, Wil. Sebenernya elo ga kesurupan, kan? Kenapa sih elo harus ngelakuin itu segala? Gue engga ngerti sama elo!” suara Mita semakin meninggi dan meninggi. Willy hanya bisa mengernyitkan dahinya, tanda tidak mengerti.
“Maksud elo apa, gue engga ngerti!” tanyanya tak karuan.
“Gue ngerasa aneh ngeliat kejadian itu, semua sudah terencana kan, Wil? Tapi ada satu hal yang elo lupain, elo engga bisa ngebohongin Nuri, sekalipun Nuri gak sadar elo bohongin!” ungkapnya penuh selidik.
“Maksud elo apa?”
“Udah deh, Wil, elo gak usah pura-pura lagi! Waktu di belakang gue nemuin elo sama Nuri elo masih ingat dia, elo bahkan yang ngajak Nuri masuk ke kelas. Dan elo tau gak? Cara lo tu payah, Wil! Payah!” suaranya terdengar menantang, seperti ingin menguak semua yang telah terjadi.
“Dan satu hal lagi… waktu elo sadar, elo langsung nanya keadaan Nuri, baik atau engga. Seharusnya elo engga sadar apa yang terjadi sama elo. Iya, kan?”
Willy tidak berkata apa-apa. Ingin sekali rasanya ia pergi dan menghilang dari tempat itu, tapi hanya memberikan penjelasan yang harus ia lakukan.
“Ternyata, elo hebat. Gue kira gak bakal ada yang tahu, ternyata perhitungan gue salah! Maafin gue… maaf, Nuri!” pintanya pada Nuri. Nuri hanya bisa tertunduk lesu mendengar semua itu.
“Kenapa lo lakuin itu, Wil?” tanyanya menyesal.
“Gue, gue cuma mau jadi orang biasa. Gue engga mau orang nganggep gue perfect karena gue punya segalanya. Dan gue merasa engga pernah dicintai oleh orang lain or kalian, karena yang dicintain itu Papa! Bukan gue!” ungkapnya lirih. Willy merasa selama ini ia dicintai karena harta keluarganya yang melimpah, bukan karena dirinya.
Mita dan Nuri hanya tertunduk lesu mendengar ucapan Willy. Willy melakukan hal bodoh untuk mencari perhatian dan cinta kasih dari orang lain dengan cara berpura-pura kesurupan. Willy, Willy, apakah ini semua karena cinta?

0 komentar: